Ia rupanya tidak menampik keberadaan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima pada masa penjajahan Belanda.
Adapun Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima datang untuk menyebarkan agama islam, mencari rempah, menagi upeti serta menjajah orang manggarai.
Dulu waktu Kesultanan Gowa datang, kisahnya dia, tempat pintu masuknya ada di Pantai Jengkalang, Pantai Nanga Banda, Kota Reo yang sekarang disebut Desa Salama, bahkan ada yang sampai ke Pota.
Kesultanan itu pun lebih banyak masuknya lewat pantai pakai kapal. Terus terjadilah hubungan kawin mawin antara Gowa dan Bima.
Waktu itu anak laki-laki Sultan Gowa menikah dengan anak perempuan Sultan Bima dan bawa belis emas satu karung tetapi Sultan Bima tolak karena mereka hanya menginginkan Nuca Lale (sekarang Manggarai)
“Memang dulu mereka tinggal lama di reo tetapi di dekat pantai, tepatnya di mangge balu, sehingga sampai sekarang kuburan itu disebut sebagai kuburan mangge balu karena ada yang meninggal” kisah Huber.
Kemudian terkait tanah yang menjadi landasan pesawat perang Belanda, versi Huber menjelaskan tanah Nanga Banda itu dijadikan landasan pesawat Belanda dari batas timur kuburan muslim dan batas baratnya jauh sampai BGR dan Kedutu.
Lalu utara kebawahnya ia tidak ingat persis, tetapi memang ada kuburan Mangge Balu sebagai tempat yang punya sejarah dulu.
“Kalau ada saudara-saudara saya yang klaim dibawa mangge balu mungkin satu sisi saya setuju. Tetapi untuk seluruhnya itu merupakan tanah bekas belanda, bukan kesultanan punya” ungkap pria yang saat ini memiliki 11 orang anak itu.
Pasca kemerdekaan 1945 atau pasca Belanda pulang dari Indonesia ia tidak melihat seorang pun yang mengklaim tanah itu, termasuk batas timur dan barat.
“Waktu itu tanahnya lepas kosong bebas dan tidak ada seorang pun yang kasih tanda itu tanah dengan tanam pohon atau apa ke sebagai bentuk pengklaiman. Baru pada tahun-tahun kemarin ada pihak yang datang mengklaim” tutur Huber.
Ia menambahkan, dulu memang ada tanah yang dipagar dan setelah itu tanah tersebut dijual oleh Mori Reok ke Pater Stanis Wiparlo untuk pemukiman penduduk yang selanjutnya disebut Kampung Nanga Banda.
“Jadi itu sejarah yang saya tahu dan saya lihat, bukan sejarah atas cerita kakek atau nenek. Saya ini bekas orang yang dijajah belanda dulu, termasuk bekas orang yang sekolah di lembaga belanda” ngaku mantan pemain terbaik Persim Manggarai ini.
Bahkan, ia mengaku Belanda datang ke Nuca Lale dulu bukan saja untuk menjajah tetapi punya jasa besar termasuk membuka jalan Ruteng – Reo dan membangun sekolah-sekolah.










