Tony Widiatmoro dari PLN Pusat mencoba meluruskan persepsi, “Setelah pengeboran, semua alat dibongkar. Hanya kepala sumur yang tersisa. Lahan yang dipakai sangat minimal.
Debit air pun dikontrol, sekitar 40 liter per detik dengan sistem kolam penampungan, “Keselamatan kami jaga dalam empat lapis: pekerja, masyarakat, lingkungan, dan instalasi. Semua sesuai standar nasional dan internasional”.
Ia juga menekankan mengenai keterbukaan PLN.
“Kami tidak berjalan sendiri. Tokoh adat dan agama adalah bagian dari pengawasan sosial,” ujarnya.
Ahli: Flores Pionir Panas Bumi
Ahli geothermal nasional, Basuki Arif Wijaya, mengingatkan sejarah panjang Flores, “Sejak 1970-an Flores dikenal sebagai wilayah panas bumi. Dari Mataloko hingga Ulumbu. Ini bukan hal baru, tapi perjalanan panjang.
Ia meluruskan isu lumpur Mataloko.
“Itu akibat peralatan lama, bukan kesalahan geothermal. Panas bumi itu uap air, bukan minyak atau gas berbahaya,” katanya.
Basuki menekankan perlunya data ilmiah obyektif.
“Di Palu, air panas bumi dipakai untuk air minum. Di negara lain jadi wisata kesehatan. Jadi jangan hanya percaya isu,” ujarnya.
Akademisi: Harmoni sebagai Orientasi
Maksimilianus Jemali, akademisi Unika, menutup forum dengan refleksi filosofis.
“Pembangunan harus menjaga jaring kehidupan. Kalau satu simpul rusak, semua terguncang. Manusia dan alam tak bisa dipisahkan,” ujarnya.
Ia mengajak menghidupkan musyawarah adat lonto leok.
“Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tapi simbol identitas dan leluhur. Semua pembangunan harus berorientasi pada hambor, harmoni,” tegasnya.
Masa Depan Flores: Antara Energi dan Martabat